Politik Keruk Nasi

0
Advertisement

Kegandrungan Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia, kepada persatuan dan kesatuan bangsanya, antara yang lain diungkapkan dengan mengumandangkan gelora kerukunan nasional, yg disingkat Keruk Nasi.

Akronim tersebut menjadi kosakata sekaligus mantra politik amat populer pada tahun 1960-an. Masyarakat merindukan gema kumandang spirit semacam itu, mengingat masyarakat semakin gampang tepercik konflik karena alasan primordial.

Bahkan, pergesekan terjadi dalam masyarakat yg dikenal mempunyai derajat toleransi cukup tinggi, seperti di Provinsi DI Yogyakarta dan Sumatera Utara.

Banyak alasan mampu memicu terjadinya konflik semacam itu, tapi yg diduga menjadi penyebab meningkatnya frekuensi bentrokan berlatar belakang primordial adalah kompetisi politik yg terlalu mempertajam sekat-sekat primordial.

Pilpres 2014 serta pemanasan Pilkada DKI Jakarta yg mulai dikerjakan pada Februari 2017, sekadar contoh ujaran-ujaran kebencian primordialistik mewarnai persaingan politik.

Namun dinamika politik dewasa ini, meski masih sayup-sayup, dua peristiwa politik dirasakan akan diterpa oleh sumilirnya angin yg menyejukkan kompetisi politik ke depan.

Pertama, mencairnya perseteruan antara Teman Ahok sebagai kekuatan sipil dan dua parpol, yg akhirnya bersepakat pencalonan Basuki Tjahaja Purnama dikerjakan lewat parpol.

Konsensus yg dilandasi oleh persamaan tujuan agar DKI Jakarta mempunyai kandidat gubernur yg sudah membuktikan kebijakannya, meski tak sempurna, sudah dirasakan manfaatnya oleh warga DKI Jakarta.

Dari perspektif parpol, mereka juga berharap elektabilitasnya mulai meningkat karena kandidatnya sesuai pilihan publik. Peristiwa itu sudah merekatkan beberapa kekuatan yg semula berhadap-hadapan secara diametral.

Semula dua unsur parpol menuduh Teman Ahok melakukan deparpolisasi, sementara Teman Ahok bersikukuh memilih pencalonan melalui jalur perseorangan karena dijamin Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.

Opsi ini dipilih karena kecewa terhadap praktik parpol yg mereduksi fungsi pilar demokrasi sekadar sebagai alat transaksi kepentingan.

Kedua, Rapimnas I Partai Golkar menegaskan dukungannya kepada Joko Widodo sebagai kandidat presiden pada Pilpres 2019. Meskipun deklarasi dikerjakan meriah dan penuh semangat, respons Jokowi sangat terukur.

Ia mengatakan berterima kasih atas dukungan Partai Golkar terhadap kebijakan pemerintah, tapi tak menyinggung dukungan pencalonan sebagai presiden pada Pilpres 2019.

Tampaknya pengalaman pahit pada Pilpres 2014 serta mencermati perilaku politik Partai Golkar selama beberapa tahun terakhir, Jokowi ingin memastikan dukungan itu bukan sekadar siasat politik, melainkan disertai niat luhur mendukung kebijakan pemerintah yg pro rakyat.

Bagi Partai Golkar, opsi mendukung Joko Widodo pada Pilpres 2019 adalah pilihan menyakitkan karena bagi kedua kalinya partai peringkat kedua dalam Pemilu Legis- latif 2014 itu tak mempunyai kader yg mampu dijagokan sebagai kandidat presiden.

Sumber:

http://nasional.kompas.com/read/2016/08/03/09575201/politik.keruk.nasi

(red)

Advertisement

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.